08 April 2020

Kopi dan Saya

 
Setiap orang memiliki pandangan berbeda terhadap kopi. Ada yang suka, ada yang benci ada yang bodo amat.

Hubungan saya dengan kopi pun ada ceritanya. Berubah-ubah dari masa ke masa.
Sejak kecil saya sudah mengakrabinya, meski tidak berarti suka. Setiap mengunjungi rumah kakek dan nenek dari pihak ayah di Cimahi, hal pertama yang ditawarkan nenek pada orangtua saya terutama ayah adalah kopi. Kopinya kopi bubuk dari pasar Jatinegara yang rutin dibelikan oleh uwa (kakak perempuan ayah) yang tinggal di Jakarta. Saya sih cuma mengamati saja, tidak tertarik sama sekali. Kecuali kalau sedang tidak ada teman bermain saya biasanya mengganggu ayah atau sekedar mencari perhatian beliau dengan meminta sedikit kopi manis dari cangkirnya atau memakan ampasnya buat cemilan (ini beneran loh hahaha)

Semakin besar saya semakin tidak tertarik kopi, padahal semerbak wanginya selalu tercium di rumah karena ayah peminum kopi pagi sore, sebelum ngantor dan sepulang dari kantor. Kopi ayah saya dari dulu tidak pernah berubah, apalagi kalo bukan Kapal Api. Takarannya 2 sendok makan kopi dan 1,5 sendok makan gula untuk segelas besar/mug kopi. Kalo kabita (kepengen) karena tergoda aromanya saya kadang minta satu dua teguk dari mug ayah. Ngoloan (minta sedikit) memang debest.

Saya pernah kapok minum kopi ketika kuliah. Pagi itu saya ikutan minum kopi setelah sarapan di rumah dan sesampainya di kampus saya merasa sangat lapar, perut melilit, badan sampai terasa lemes karena efek kopi. Setelah kejadian itu saya makin jarang menyeduh kopi karena nggak mau mengalami hal seperti itu lagi.

Awal bekerja sebagai reporter, saya  ditugaskan di desk kesehatan yang biasanya liputan sendirian dan kebanyakan hanya wawancara dokter-dokter RSCM. Saat itu saya jarang sekali ngopi, dan lebih memilih minum teh berbagai rasa, dari rasa buah sampai pepermint. 

foto: https://www.pexels.com/photo/beverage-breakfast-brewed-coffee-caffeine-374885/


Saat pindah ke desk metropolitan, mulailah godaan kopi datang. Di desk ini saya biasanya liputan bareng-bareng wartawan media lain. Setelah liputan lapangan kami ngumpul di balai wartawan untuk ngetik berita barengan. Hampir semua wartawan ngopi dan merokok, terutama saat membuat berita. Lama-lama saya juga jadi harus nyeduh kopi dulu (tapi nggak sampe ngerokok!). Kepala yang panas setelah liputan di lapangan itu baru bisa fresh setelah diberi asupan kafein. Otak serasa terang benderang, ngetik berita pun lancar jaya.  Kopi apa sih yang diminum? Ya benar, tak lain dan tak bukan kopi instan sejuta umat Indocafe Coffeemix. Bertahun-tahun saya jadi peminum coffeemix ini sampe kecanduan. Kalo nggak nyeduh kepala bisa sampe migren. 

Kebiasaan ini berlanjut sampe saya nggak turun ke lapangan lagi, coffeemix selalu tersedia di laci meja kerja. Sekali-kali minum ice blend coffee di cafe kantor  atau pesan es kopi di warung Doel depan kantor sambil ngobrol-ngobrol bareng teman. Saya nggak suka setarbak karena menurut saya kemahalan dan rasanya nggak istimewa. Kadang saya masih suka nyoba-nyoba kafe seperti Bakoel Koffie, Ngopdoel, Coffee Bean, trus apalagi ya.. lupa, dulu masih jarang sih tempat ngopi itu, nggak menjamur kaya sekarang..

Apakah sekarang masih kecanduan coffeemix? Alhamdulillah udah nggak terlalu, masih suka minum satu atau dua kali sebulan kalau sedang kangen. Eits jangan seneng dulu. Lepas dari coffeemix saya malah kecanduan kopi lain. Kopi hitam
Tapi kayaknya udah kepanjangan ceritanya, nanti deh kapan-kapan saya teruskan lagi.
Ceritanya bersambung dulu ya..
  

4 comments:

  1. Awal mula aku ngopi hitam pun gara2 kerja di radio dan pernah ikut pelatihan wartawan di Bandung. Hehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya ampun, emang ya wartawan nggak jauh2 dari kopi hahaha.. nambah banyak kesamaannya dong kita, plurker, mantan wartawan dan punya anak kembar 😁😁

      Delete
  2. Eits.. Takaran kopi kapal api bapak itu 1 sdm kopinya 2 sdm gulanya ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahahaha..salah dong ya. Kelamaan nggak bikinin kopi buat bapa nih

      Delete