11 April 2020

Black, Bold and Bitter


Saya tidak pernah mengingat-ingat awal mula menjadi penggemar berat kopi hitam. 
Karena samar-samar, untuk menulis blog ini pun saya harus kokoreh alias mengorek ngorek memori terlebih dulu.


Hmm.. (mikir)







Sekian lama saya tercatat sebagai pengonsumsi setia kopi instan sejuta umat yang saya ceritakan di postingan blog sebelumnya. Namun jika sedang berpergian bersama suami, biasanya kami memilih membeli kopi murahan diskonan di minimarket yang ada mesin kopinya itu. Kenapa, karena harga kopi panasnya itu biasanya diskon jadi goceng sementara kopi lain 6rb hahahahaha.. cuma beda seribu padahal yaa. Ada yang bisa menebak minimarket apa?


Doi biasanya memilih  varian café latte yaitu kopi + foam susu. Sementara saya lebih suka menyeruput americano yaitu espresso+air, karena tidak berani menambahkan susu yang bisa bikin perut saya protes. Awalnya saya selalu menambahkan gula pada kopi americano saya.. tapi lama-lama kok lebih enak tanpa gula ya, rasanya terasa lebih jujur! aiih bagaimana itu rasa jujur hahaha. Nah, sejak saat itu saya jadi jarang menambahkan gula pada kopi hitam saya, termasuk jika minum kopi di rumah.


Terungkap kan.. ternyata, awal mula saya suka kopi hitam itu karena nyoba kopi gocengan guys, jadi saya nggak masuk level kopi snob dong meskipun suka kopi hitam😜 (catet)

Di rumah, saya mengkoleksi kopi-kopi dari berbagai daerah, tapi bukan kopi single origin seperti kopi Gayo, Toraja, Bali dan kopi lain yang sekarang ngetren ya. Kopi-kopi lokal koleksi saya sih kopi produksi pabrik kopi lokal misalnya Nefo Jambi, Djempol Kebumen, Liong Bulan Bogor, Sidikalang, Lampung, Ulee Kareng, Obor Pontianak dan lain-lain. Biasanya kopi-kopi itu saya peroleh dari teman maupun suami jika dinas keluar kota. Minumnya diseduh biasa saja pake air mendidih atau biasa disebut kopi tubruk.


Selain diseduh biasa, kadang kopinya juga saya saring pake kopi press kalau lagi males minum kopi yang berampas.  Saya sengaja beli kopi kapal api yang ada bonus kopi press nya supaya kopinya jernih bebas ampas trus kasih es batu deh, sedap diminum siang-siang suegeeer dan bikin melek.


Suatu hari saya mencoba memesan kopi Aceh Gayo di salah satu market place, menurut testimoninya kopi itu enak banget sehingga membuat saya penasaran. Ternyata emang beneran enak dan harumnya sangat menggoda. Jenis roasting yang paling pas buat saya adalah dark roast yang sesuai deskripsi penjualnya: bold, bitter with no acidity. Tidak ada rasa asam sama sekali, karena saya memang tidak suka rasa asam pada kopi yang terlalu kentara, sebaliknya kopi ini menurut saya terasa gurih dan kopi banget.

Kopi ini jadi andalan saya setiap hari, kalau belum nyeduh sepertinya ada sesuatu yang kurang. Karakter yang sudah saya kenal pun membuat saya bisa menyeruput kopi dengan tenang, lepas dari kekhawatiran rasa asam yang kadang mengganggu.


Catatan:
Profil roasting Aceh Gayo (arabica) di tempat yang biasa saya beli:
- Dark Roast (bold, bitter with no acidity)
- Medium Dark Roast (low acidity)
- Medium Roast (medium acidity)

7 comments:

  1. Terimakasih Suhu, kini kutau nikmatnya ngopi..��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahahaha.. terimakasih sudah mampir, terimakasih juga atas kopi kopi enaknya

      Delete
  2. Aku suka banget Ulee Kareng, tapi belum pernah coba kopi Liong Bulan. Di rumah juga kami sedia banyak jenis kopi gilingan, belinya di pasar Santa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, anehnya daku kalo minum ulee kareng kok malah ngantuk ya? Kalo yg di pasar Santa cuma suka kopi tuku, belum pernah nyoba kopi gilingnya. Oiya, selain di Bogor, Liong Bulan ada di Depok juga katanya.. (siapa tau mampir hehehe)

      Delete
    2. sama kayak aku, kopi item bikin ngantuk.. hehehehe.. depok lagi ketat psbb katanya gak tau sampe kapan.. aku pun gak berani kemana2 juga.. hehehe

      Delete
  3. Kok menurutku kopi gayo masih asem ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kan beda-beda jenis roastingnya, yang ga asem itu yang dark.. mostly gayo itu asem krn roastingnya bukan dark

      Delete